...
HP POPULER MINGGU INI

Developer Game Pertama di Indonesia yang telah Berkarya Sejak 1989

| 20 Mar 2019 01:00
ARTIKEL POPULER SAAT INI

Developer Game Pertama di Indonesia yang telah Berkarya Sejak 1989

Industri game di Indonesia bisa terbilang jauh tertinggal dibandingkan negara maju seperti Amerika Serikat ataupun Jepang. Tapi, kemunculannya berkembang cukup pesat pada masa kejayaan platform Flash, bahkan makin tumbuh besar ketika akses untuk merilis game dipermudah platform mobile seperti Android ataupun iOS. Kini berbagai judul game seperti Warung Chain, Tahu Bulat, DreadOut, dan lainnya mulai sering bermunculan di media lokal, bahkan internasional.

Mengutip semboyan populer dari Presiden Soekarno di pidato terakhirnya pada 17 Agustus 1966, “Jangan sekali-sekali meninggalkan sejarah!” Industri game Indonesia pun tentunya memiliki sejarahnya sendiri yang menarik untuk dibahas.

Siapa sebenarnya developer game pertama Indonesia? Apa yang terjadi di kontroversi rekor MURI untuk Game Pertama Indonesia? Bagaimana perkembangan cara kerja para developer game dulu dengan sekarang?

Semua pertanyaan tersebut saya coba ungkap melalui seri artikel Sejarah Game Indonesia yang akan dirilis secara berkala, tanpa waktu tetap. Karena bangsa yang baik adalah bangsa yang selalu mengingat sejarahnya, dan tentunya kita semua bisa belajar banyak untuk masa depan industri game lokal dari kisah-kisah yang telah lalu.

Tanpa panjang lebar lagi, selamat menikmati napak tilas industri game Indonesia.

Developer game pertama dalam negeri

(Wawancara untuk artikel ini dilakukan pada awal 2017, beberapa hal, seperti posisi yang bersangkutan, mungkin telah berubah sejak wawancara berlangsung).

Jika ditanya siapa pelaku senior atau sesepuh industri game Indonesia, kemungkinan orang-orang akan menyebutkan nama-nama seperti Touchten Games, Toge Productions, Agate Studios, dan beberapa kelompok atau individu lainnya. Kalau berbicara dengan orang-orang yang lebih paham tentang industri game lokal, yang muncul mungkin justru nama-nama lain seperti Menara Games, Altermyth, ArtLogic, dan Matahari Studios.

Tapi sebenarnya, siapa orang pertama yang bisa menyandang titel “developer game pertama Indonesia”?

Beberapa media populer di tahun 2000-an sempat memberikan predikat Bapak Game Indonesia dan Game Pertama Asli Indonesia kepada David Setiabudi dari DivineKids, salah satu studio game paling senior yang sampai saat ini masih aktif berkarya.

Tapi jika kita tilik balik, dari sebelum itu pun sudah ada beberapa game edukasi atau game simpel yang dijual dalam bentuk disket di toko-toko buku seperti Gramedia. Bahkan di tahun 1996, Elex Media Komputindo sempat menerbitkan buku berjudul Pemrograman Animasi dan Game untuk Profesional yang sampai pada 1998 telah dicetak empat kali oleh penerbit besar tersebut.

“Saya ingat dulu ada buku berjudul Pemrograman Animasi dan Game untuk Profesional. Dulu itu rasanya melihat ada buku seperti itu dijual di toko buku umum sangat mengejutkan,” ujar Dien Wong, pendiri studio game Altermyth. “Bisa dibilang buku tersebut menjadi salah satu yang menginspirasi saya dan beberapa kawan pada masanya untuk mulai terjun ke industri game.”

Altermyth salah satu studio lokal yang telah bertahan dari tahun 2003 dan masih ada sampai sekarang. Dari Dien Wong, saya mendapatkan sebuah nama, “Kamu coba cari saja Agustinus Nalwan, dulu dia yang menulis buku tersebut.”

Untungnya di era media sosial kini, menemukan orang berbekal nama saja sering kali jadi pekerjaan mudah. Saya pun berhasil mengontak Agustinus Nalwan melalui surel dan media sosial. Di awal 2017, kami berbincang-bincang lewat internet pada suatu sore di Jakarta dan sebuah malam di Melbourne, Australia.

Bikin game secara autodidak

Agustinus Nalwan yang akrab disapa Mas Agus telah tinggal di Melbourne, Australia, sejak mengenyam pendidikan di Monash University pada pertengahan tahun 90-an. Pria asli Surabaya ini mengaku memulai pekerjaan sampingan membuat game dan menulis buku tentang membuat game sembari sekolah, sampai ketika lanjut kuliah di luar negeri. “Lumayan bisa bantu biaya kuliah saya di sini [Melbourne],” jelas Mas Agus.

“Saya sebenarnya dari SD sudah suka video game, dulu mainnya di [NES]. Tapi karena tidak punya, jadi mainnya di rumah teman. Tidak hanya suka main saja, tapi saya pun jadi ingin coba bikin.

“Kebetulan waktu kelas 1 SMP ayah saya membelikan komputer, dari situ saya mulai belajar-belajar sendiri dengan membaca buku terbitan luar negeri. Memang waktu itu tidak mengerti bahasanya sih, tapi saya ketik saja source code yang tertera, terus mulai utak-atik ganti sendiri, dan akhirnya lama-lama mengerti.”

Masa itu, Mas Agus belajar programming menggunakan bahasa BASIC. Tentu saja pada masanya belum ada tool dan software canggih seperti Unity. Bahkan IDE (Integrated Development Environment) untuk membantu proses pemrograman pun belum ada.

Mencari sumber referensi pun sangat sulit, karena buku teknis yang tersedia di Indonesia susah sekali ditemukan. Mencari buku bahasa Inggris untuk tema serupa pun tidak mudah. Akhirnya Mas Agus bergantung pada Bulletin Board System (BBS), platform berbagi yang bisa dibilang merupakan pendahulu internet yang kita nikmati saat ini.

“Kebetulan dulu ada kenalan dosen di Universitas Malang yang punya akses BBS, semacam internet tapi kuno sekali. Di sana saya bisa mengunduh bermacam-macam hal, termasuk contoh game buatan orang lain. Dari situlah semakin terbuka pikiran saya untuk belajar-belajar.

“Semenjak terekspos dengan BBS, saya mulai mencoba bikin game sendiri, sambil tetap main game juga tentunya. Saya juga pindah dari menggunakan bahasa BASIC menjadi Turbo Pascal karena BASIC banyak batasannya, terutama urusan RAM yang hanya dibatasi sebesar 40 KB.”

Mas Agus pun menyelesaikan game yang ia kembangkan dan menyebarkannya melalui BBS. Menurutnya, cukup banyak yang mengunduh game tersebut kala itu, bahkan orang-orang dari luar negeri juga.

Game yang ia rilis saat itu bertema Dragon Ball dan ada juga yang bertema Street Fighter. Karena menggunakan properti intelektual milik pihak lain, ia tidak bisa menjualnya dan hanya dapat menyebarkan secara cuma-cuma.

“Itu terjadi kalau tidak salah ketika saya kelas 2 SMP, yaitu tahun 1989.”

Setelah mencoba merilis karya untuk publik tersebut, dirinya mulai menyeriusi usaha pembuatan game. Di kelas 3 SMP, Mas Agus mulai membuat game yang dikembangkan dengan cara sama, namun dengan tampilan dan kulit berbeda.

Game yang ia buat pun jenisnya bermacam-macam, ada yang tembak-tembakan, tebak gambar, dan lainnya. Karyanya ia jual kepada Elex Media Komputindo dan disebarkan ke berbagai cabang Gramedia dalam format disket.

Di seluruh game yang ia kembangkan, Mas Agus bertanggung jawab untuk urusan gambar, musik, programming, game engine, desain level, editor level, dan lainnya. Semua ia kerjakan sendiri, dan satu game biasanya memakan waktu sekitar satu bulan untuk diselesaikan.

Berbagi ilmu dengan menulis buku

Semua ini berjalan sampai ia lulus SMA dan melanjutkan pendidikan di Australia. Di Monash Universty, Melbourne, Mas Agus mengambil jurusan Computer Science and Robotics. Meski telah meninggalkan Indonesia, ia tidak melupakan negara kelahirannya.

“Dulu sudah mulai ada beberapa buku tentang programming, tapi memang tidak ada yang spesifik ke game. Akhirnya sambil kuliah saya bikin buku Pemrograman Animasi dan Game untuk Profesional tersebut, karena saya merasa akan sangat berguna untuk teman-teman mengingat susahnya mencari informasi saat itu.

“Kalau saya sebar, semakin banyak yang belajar, semakin cepat perkembangan game di Indonesia.”

Selama di Australia, akses informasi yang diterima Mas Agus pun makin lancar. Ia makin bersemangat menghasilkan beberapa buku untuk diterbitkan Elex Media. “Waktu di sini [Australia] mulai kenal internet, senang sekali karena jadi bisa belajar lebih banyak lagi. Walaupun belum ada Google, masih pakai Yahoo waktu itu, tapi tambah banyak ilmu yang saya dapatkan.”

Meski berkarya sendiri untuk game dan bukunya, Elex Media seratus persen bertanggung jawab untuk distribusi dan menentukan harga. Untuk satu game yang ia buat, Elex mematok harga sekitar Rp10.000. Sedangkan buku dijual dengan harga sekitar Rp25.000.

Melanjutkan karier di Australia

Mas Agus pun menyelesaikan studinya di tahun 1998. Dari situ ia tidak kembali ke Indonesia, tapi melanjutkan kerja di Australia. Selama lima tahun setelah lulus, Agustinus Nalwan meniti karier di studio game Infogrames, divisi pengembangan software untuk motion capture.

Salah satu karyanya adalah sebuah aplikasi bernama Famous 3D yang berfungsi untuk motion capture, tapi khusus di bagian wajah.

Di Infogrames, ia memang tidak mengerjakan game secara langsung, tapi aplikasi Famous 3D yang ia kembangkan digunakan di banyak game dan film, salah satunya digunakan untuk motion capture wajah Keanu Reeves di The Matrix. Untuk mewujudkan Famous 3D, Mas Agus memanfaatkan teknologi-teknologi seperti Visual Studio, OpenGL, serta Direct3D.

Sayangnya Infogrames di Melbourne harus tutup karena persaingan biaya operasional dengan Cina dan India yang lebih murah. Keluar dari Infogrames, ia pun melanjutkan karier di sebuah perusahaan bernama Swishzone.com.au.

“Saat itu tahun 2004 dan Flash tengah puncak popularitasnya. Tapi hal tersebut tidak bertahan lama, karena tahun 2007 Steve Jobs meluncurkan iPhone dan menyatakan perang dengan Flash karena platformnya tidak mendukung Flash sama sekali. Hal tersebut memengaruhi tempat kerja saya, dan mereka pun mulai masuk posisi tidak aman.”

Melihat kejadian itu, Mas Agus malah bersemangat untuk mengutak-atik iPhone. Ia kembali mencoba membuat game sendiri dengan XCode dan Objective C. Selama dua tahun ia mengembangkan beberapa game untuk iOS seperti Sling Note, Quiz Dojo, dan lainnya.

“Lumayan sih buat penghasilan, tapi tidak bisa menggantikan pemasukan dari gaji penuh.”

Di tahun 2009, Agus ditawarkan kerja oleh perusahaan CarSales.com.au untuk mengembangkan aplikasi iOS mereka. Sampai tahun 2016 ia mengembangkan dan memperbarui aplikasi iOS CarSales, hingga merasa cukup bosan.

Namun CarSales baru membuka divisi baru, yaitu Artificial Intelligence dan Machine Learning. Di divisi ini, Agus memimpin tim berjumlah delapan orang yang fokus mengembangkan AI. “Nama mereka memang CarSales.com.au, tapi mereka bukan hanya bergerak di bidang otomotif. Ada juga divisi macam eBay, truk, perlengkapan kemah, real estat. Mereka juga punya cabang di Indonesia dengan nama mobil123.”

Hal selanjutnya bagi Agustinus Nalwan

Lama di CarSales.com.au, Mas Agus tidak lagi mengerjakan game. Meski masih mengikuti teknologinya, ia tidak pernah mempraktikkannya lagi. Ketika ditanya apakah ada niat untuk kembali ke industri game, saat itu Agus menunjukkan minatnya pada VR.

“Akhir-akhir [2017] ini saya mulai baca-baca dan mencoba HTC Vive. Setelah saya coba terasa kalau hardware ini masih belum cukup dewasa, dengan tracking yang masih kurang cepat dan akurat, bikin puyeng.”

“Tapi saya yakin satu sampai dua tahun lagi pasti lebih canggih. Saat ini niat pindah ke VR baru 40 persen, 60 persen masih asyik di AI, karena baru terjun juga. Efek dan kualitas render di video game makin canggih, tapi AI dari NPC masih bego.” tambah programmer yang saat itu tengah gandrung mendalami dunia AI ini.

Lalu bagaimana dengan Indonesia? Sayangnya dalam lima tahun ke depan Mas Agus belum ada rencana untuk kembali ke Indonesia. Apalagi dalam waktu dekat, orang tuanya yang menjadi alasan ia untuk pulang kampung setahun sekali akan ikut pindah ke Australia.

Tapi bagaimana dengan sesudah itu? Ia jelas tidak tahu. “Dunia IT itu adalah sesuatu yang sangat tidak stabil. Kalau dalam beberapa tahun ke depan ada proyek yang menarik di Indonesia, siapa tahu saya akan cukup berminat untuk mengambilnya.”

Meski begitu, Agus percaya kalau Indonesia, termasuk para developer game di sini, punya potensi besar untuk menjadi sukses. “Ada dulu pembaca buku yang saya buat berkenalan di Facebook. Sekarang dia malah lebih canggih dari saya urusan teknik game programming.”

Ia pun percaya kalau orang Indonesia sangatlah pintar dibanding dengan orang asing, baik dari segi bisnis dan manajemen. Tapi ia punya pesan penting untuk seluruh pelaku industri teknologi di Indonesia.

“Jangan pernah berhenti belajar, karena dunia IT itu seperti sungai, terus mengalir dan kita tidak akan tahu kondisinya seperti apa di dua puluh meter ke depan.

Jadi selama aliran tenang, jangan santai, gunakan waktu tersebut untuk belajar! Tidak ada yang tidak mungkin, yang ada hanya belum mungkin dulu. Kalau ada niat dan terus kita kerjakan pasti bisa. Pola pikir seperti itulah yang memandu saya dalam berkarier sampai bisa sejauh ini.”

(Diedit oleh Iqbal Kurniawan; Sumber gambar: malayathaber.club)

Like
Simpan
Bagikan
Rekomendasi
Indonesia's Largest Mobile Phone Directory
Di InPonsel, kamu bisa dengan mudah menemukan hp yang diinginkan dan mendapatkan informasi terkait berdasarkan relevansi produk. Kamu juga dapat memberikan review produk, berlangganan berita sesuai minat dan berinteraksi dengan pengunjung lain.



InPonsel @ 2024, PT InTele Hub Indonesia